BUKU API
TAUHID
Buku Api Tauhid karya Kang Abik ini baru
saja terbit. Responnya luar biasa. Banyak yang sudah mencari sedari dulu. Tidak
mengherankan memang, beliau sudah terkenal dengan karyanya yag selalu melejit.
Pesan yang selalu disampaikan selalu menyerap dalam hati. Semoga saja pesan di
novel ini dapat tersampaikan. Karena novel ini adalah novel sejarah, bukan
novel cinta, yang terkesan ‘berat’.
==============================
Baik, ini
dia sinopsis dari Buku Api Tauhid karya Habiburrahman El-SHirazy…
Novel Api
Tauhid ini adalah novel roman dan sejarah. Novel roman yang bercerita
seputar perjuangan anak muda asal Lumajang, Jawa Timur, yang bernama Fahmi. Ia
dan beberapa rekannya seperti Ali, Hamza, dan Subki, menuntut ilmu di
Universitas Islam Madinah.
Dalam
perjalanannya, Fahmi harus menghadapi situasi yang cukup pelik, dalam urusan
rumah tangga. Fahmi pun galau. Semua persoalan yang dialaminya itu, tak pernah
ia ungkapkan dengan teman-temannya.
Kegalauannya
itu ia tumpahkan dengan cara beri’tikaf di Masjid Nabawi, Madinah, selama 40
hari untuk mengkhatamkan hafalan Al-Qur`an sebanyak 40 kali. Sayangnya,
upayanya itu hanya mampu dijalani selama 12 hari. Memasuki hari-hari
berikutnya, Fahmi pingsan. Ia tak sadarkan diri, hingga harus dibawa ke rumah
sakit.
Sahabat-sahabatnya
khawatir dengan kondisinya yang pemurung dan tidak seceria dulu. Hamza,
temannya yang berasal dari Turki, mengajak Fahmi untuk berlibur ke Turki. Hamza
berharap, Fahmi bisa melupakan masa-masa galaunya selama di Turki nanti.
Untuk
itulah, Hamza mengajak Fahmi menelusuri jejak perjuangan Said Nursi, seorang
ulama besar asal Desa Nurs. Ulama terkemuka ini, dikenal memiliki reputasi yang
mengagumkan.
Syaikh Said
Nursi, sudah mampu menghafal 80 kitab karya ulama klasik pada saat usianya baru
menginjak 15 tahun. Tak hanya itu, Said Nursi hanya membutuhkan waktu dua hari
untuk menghafal Al-Qur`an. Sungguh mengagumkan. Karena kemampuannya itu, sang
guru, Muhammed Emin Efendi memberinya julukan ‘Badiuzzaman’ (Keajaiban Zaman).
Keistimewaan
Said Nursi, membuat iri teman-teman dan saudaranya. Ia pun dimusuhi. Namun,
Said Nursi pantang menyerah. Semua diladeni dengan berani dan lapang dada. Tak
cuma itu, rekan-rekan dan saudara-saudaranya yang iri dan cemburu akan
kemampuannya, para ulama besar pun merasa terancam. Keberadaan Said Nursi
membuat umat berpaling. Mereka mengidolakan Said Nursi.
Pemerintah
Turki pun merasa khawatir. Sebab, Said Nursi selalu mampu menghadapi tantangan
dari orang-orang yang memusuhinya. Ia selalu mengalahkan mereka dalam berdebat.
Tak kurang
akal, pejabat pemerintah pun diam-diam berusaha menyingkirkannya. Baik dengan
cara mengusirnya ke daerah terpencil, maupun memenjarakannya. Ia pun harus
berhadapan dengan Sultan Hamid II hingga Mustafa Kemal Attaturk, pada masa awal
Perang Dunia I.
Selama 25
tahun berada di penjara, Said Nursi bukannya bersedih, ia malah bangga. Karena
disitulah, ia menemukan cahaya abadi ilahi. Ia menemukan Api Tauhid. Dan
melalui pengajian-pengajian yang diajarkannya, baik di masjid maupun di
penjara, murid-muridnya selalu menyebarluaskannya kepada khalayak. Baik dengan
cara menulis ulang pesan-pesan Said Nursi, maupun memperbanyak risalah
dakwahnya. Murid-muridnya berhasil merangkum pesan dakwah Said Nursi itu dengan
judul Risalah Nur. Murid-muridnya tidak ingin, Api Tauhid yang
dikobarkan Said Nursi berakhir.
*****
Bagaimana
dengan Fahmi? Perjalanan ke Turki membawa Fahmi berkenalan dengan gadis
setempat, Emel, adik Hamza, dan Aysel, saudara sepupu Hamza. Kemampuan Fahmi
dalam menyikapi segala sesuatu, membuat Aysel jatuh hati. Aysel menyatakan
cintanya pada Fahmi.
Bagaimana
dengan Emel? Lalu bagaimana kisah cinta Fahmi dengan Nuzula? Semuanya ada dalam
buku Api Tauhid, karya Habiburrahman El-Shirazy, novelis nomor satu di
Indonesia, ini.
*****
Buku ini
sangat layak dimiliki, baik bagi penggemar novel, penggemar dan pemerhati
sejarah, pemerhati Timur Tengah, akademisi, mahasiswa, maupun peminat studi
tentang Turki. Dalam novel sarat makna ini, tidak hanya satu cerita yang
disuguhkan, tapi dua: kisah percintaan Fahmi, dan sosok teladan dari Syaikh
Said Nursi.
===========================================
‘Berat’, itu
kesan pertama saya demi menimang karya terbaru dari senior saya, Habiburahman
El-Shirazy atau yang biasa disapa Kang Abik.
Bagaimana
tidak, novel setebal 573 halaman ini adalah novel biografi seorang tokoh ulama
besar asal Turki, Said Nursi Badiuzzaman. Seorang jenius yang hapal sekitar 80
kitab di usia belasan tahun. Sebuah novel sejarah yang mengisahkan perjuangan
Said Nursi, dengan berbagai peristiwa di balik runtuhnya khilafah terakhir
Turki Utsmani, yang mengubah wajah sejarah dan peta politik dunia hingga kini.
Sesungguhnya
saya bukan pecinta sejarah. Tapi untungnya saya termasuk penikmat cerita.
Sejauh ini, ada dua buku tebal tentang sejarah yang saya nikmati, ‘Karateristik
Peri Hidup 60 Sahabat Rasulullah’ karya Khalid Muhammad dan ‘Karateristik Peri
Hidup Khalifah Rasulullah’ dari penulis yang sama. Seingat saya buku-buku
tersebut tebalnya sekitar 700 halaman, dan saya baca ketika SD, semata-mata
karena kesukaan saya pada cerita. Khalid Muhammad Khald berhasil menghidupkan
kembali sejarah lewat kedua buku tersebut, dan menurut saya, penulis seperti
itu tidak banyak.
Setelah
karya Khalid Muhammad Khalid, bisa dibilang buku-buku sejarah lainnya tidak
saya baca hingga selesai. Kalaupun tamat, butuh waktu berminggu-minggu dan
paksaan keras dari diri saya untuk melahapnya. Beberapa buku bahkan saya
‘curangi’ dengan hanya membacanya secara cepat dan mengambil intisari
peristiwanya saja.
Karena itu,
mungkin bisa dimaklumi ketika buku ‘Api Tauhid’ baru benar-benar saya baca
setelah dua bulan saya simpan dalam rak koleksi. Penyebab pertama, 2 bulan
terakhir saya sangat sibuk, dan yang kedua, saya sudah kehabisan bacaan.
Namun
begitu, tak disangka, ternyata saya berhasil membaca setengah buku ini hanya
dalam waktu beberapa jam saja. Jika saja tak ingat bahwa saya harus meeting dan
agenda esok hari saya cukup padat, mungkin saya akan langsung menamatkannya
hingga subuh dan tidak memaksakan diri untuk tidur pada pukul 2 dini hari.
Saya yang
hanya tahu tokoh-tokoh islam terbatas pada para ilmuwan seperti Ibnu Sina atau
Al-Farabi serta penjelajah seperti Ibnu Batutah yang mengelilingi dunia jauh
lebih hebat dibanding Marcopolo, mendadak tertarik pada kisah luar biasa yang
sebelumnya tidak saya kenal, Said Nursi Badiuzzaman.
Membaca
kisah Said Nursi, seolah-olah mengisi lembar-lembar kosong penggalan
pengetahuan sejarah saya yang sangat terbatas. Jika anda membaca kisah peri
hidup khalifah Rasulullah yang saya sebutkan di atas, ada satu orang yang tidak
termasuk khulafaur rasyidin namun dimasukkan dalam buku tersebut menjadi
khalifah ke 5. Dialah Umar bin Abdul Aziz, cucu dari khalifah Umar bin Khattab
RA.
Setelah era
Umar bin Abdul Aziz, selama berabad-abad kemudian kita tahu bahwa kekhalifahan
kemudian berpindah dari suatu dinasti ke dinasti lain. Umayah, Abasiyah, dst hingga
pada akhirnya runtuh untuk selama-lamanya. Buku Api Tauhid, mengisi kekosongan
pengetahuan tersebut.
Saya tahu
sedikit sejarah Palestina, sejarah dunia versi islam, dan tentu sejarah ‘versi
umum’ yang pernah diajarkan di sekolah-sekolah. Dalam sejarah ‘versi umum’ yang
kita tahu, Mustafa Kemal At-tartuk adalah pahlawan yang dielu-elukan karena
berhasil membawa Turki ke arah yang lebih ‘modern’, -nama lain untuk sekuler-
Dalam buku ini, kita bisa tahu lebih dalam, bagaimana permainan politik
At-tartuk yang turut berperan dalam kejatuhan Khalifah dan berusaha memusnahkan
sendi-sendi islam dalam berbagai aturan yang tidak populer dalam masa
pemerintahannya.
Kara Mustafa
Pasha adalah penjahat perang yang fotonya terpajang di Wina, Austria. Anda
mungkin ingat salah satu frame dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa 1, saat
Aisye dibully oleh temannya karena beragama islam dan berasal dari Turki. Juga
saat di museum, Fatma menangis karena kebencian dan penyesalannya terhadap Kara
Mustafa Pasha yang ternyata adalah kakek buyutnya.
Dalam buku
Api Tauhid, kita akan menemukan satu kejadian saat Said Nursi berusaha
mengingatkan Kara Mustafa Pasha agar bertobat. Bagaimana Said Nursi dengan
berani menentang kesewenang-wenangan Pasha, dan memperkirakan akhir hidupnya
akan seperti apa. Sebuah ramalan yang kelak terbukti tidak hanya pada akhir
hidup Pasha, tapi juga akhir hidup Nursi dan sahabatnya sendiri. Turki pada
masa itu memang tengah bergolak. Banyak terjadi penyelewengan termasuk yang
dilakukan oleh pemerintah Turki Utsmani yang semakin jauh dari islam..
Kisah
kejujuran orang tua Said Nursi mengingatkan saya tentang kisah orang tua Imam
Syafi’i. Sejarah pencaplokan Palestina lewat berbagai rekayasa politik, situasi
perang dunia 1, runtuhnya khilafah, sejarah panjang islam di Turki hingga
karya-karya yang ditulis Said Nursi, diceritakan pula dalam novel ini.
Gagasan-gagasannya terhadap dunia pendidikan yang menggabungkan ilmu islam dan
sains, pemikirannya terhadap politik dan tentunya kejeniusannya yang membuat
kagum
Membaca Api
Tauhid, seolah kita turut merasakan kembali kegetiran serta keresahan seorang
Said muda. Membuat saya pribadi mengira-ngira situasi dunia saat itu.
Tahun-tahun sebelum kejatuhan khilafah saat Indonesia masih dalam kungkungan
penjajah.
Lewat novel
ini, Kang Abik seolah mengajak kita melakukan rihlah, napak tilas seorang ulama
besar lewat penceritaan tokoh-tokohnya. Seakan kita sendiri diajak berkeliling
Turki, merasakan bekunya udara saat musim dingin, pahitnya kopi khas Turki,
serta mengunjungi tempat-tempat selain tujuan wisata yang telah dikenal selama
ini. Memberi kita alternatif baru untuk bertandang, lengkap dengan
makanan dan hotel-hotel yang disinggahi.
Berbalut
cerita cinta antara Fahmi dan Nuzula, Kang Abik menyajikan cerita dalam cerita.
Dengan Hamza sebagai pemandunya dan tokoh Fahmi untuk mewakili pembaca yang
awam terhadap Said Nursi.
Kalaulah ada
hal yang sedikit mengganggu, di awal-awal bab, ada penceritaan Fahmi yang
memakai kata ‘Aku’ namun berubah menjadi ‘Saya’ dalam konteks kalimat yang agak
rancu.
Kisah cinta
Fahmi-Nuzula pun bisa dibilang sangat singkat, seakan-akan hanya pemanis yang
diceritakan sambil lalu hingga agak berkesan tempelan. Meski tentu bisa
dipahami, bahwa kisah Said Nursi-lah yang menjadi inti ceritanya. Kisah hidup
beliau sudah merupakan cerita lengkap dengan berbagai konflik yang nyata.
Penggambaran
setting Turki cukup detail, bahkan bisa menjadi rujukan destinasi pilihan.
Sedangkan setting tanah Jawa, pesantren -khas Kang Abik- mengingatkan saya
dengan karya-karya Ahmad Tohari yang juga cukup sering mengambil setting
kehidupan pesantren di Jawa. Karya kedua penulis ini layak disandingkan dalam
jagad sastra Indonesia.
Api Tauhid
memang agak berbeda dari karya-karya Kang Abik lainnya. Namun spirit kisah di
dalamnya, niscaya akan mampu memberi inspirasi baru bagi pembaca.
Sebuah
bacaan yang layak direkomendasikan.